“Zoey
kau tidak sekolah? Kau ingin mati?”
“Diam
dan enyahlah dari rumahku!” sahutnya dengan lantang.
“Kau
ingin mengusir Bibimu sendiri?”
Ia hanya ingin ketenangan dan
kebahagiaan satu hari saja, hanya satu hari. Tunggu, kebahagiaan? Ia bahkan
sudah lupa caranya tersenyum dan ia ingin kebahagiaan? Sadarlah Zoey, atau kau
akan terluka. Gumamnya. Tapi ia menyerah pada ketangguhan Bibinya dan keluar
kamar.
“Bibi
mengapa aku tidak diizinkan membolos?” sungutnya dan berjalan ke sofa ruang
tengah.
“Orang
tuamu menitipkanmu padaku untuk menjadikanmu anak yang baik. Anak yang pintar.
Mau sampai kapan kau seperti ini Nak?” tanya Bibinya dan membelai lembut kepala
keponakannya itu.
“Aku
akan bersiap-siap,” ia beranjak pergi dan bersiap-siap ke sekolah.
“Anak
itu benar-benar telah berubah,” gumam Bibi dengan menggeleng-gelengkan kepala
perlahan.
Pagi ini tidak indah. Astaga, kapan
ia bisa merasakan hari-hari yang indah lagi. Bila saja ia bisa memutar waktu,
bisakah ia terus bahagia? Apakah Tuhan akan mengizinkan ia tetap tersenyum?
Tidak bisakah ia memutar waktu meski hanya sekali? Meski hanya sebentar saja.
“Selamat
pagi gadis pintar”
Ia
menoleh ke belakang melihat seseorang yang sudah sangat dikenalnya, menutup
matanya sejenak dan menarik napas panjang. “Hai,” balasnya singkat.
Darla
tersenyum masam. “Pagi-pagi begini aku justru mendapat sambutan dingin seperti
itu.”
Zoey
menoleh dan memandangi sahabatnya itu sejenak. “Kau mau sambutan yang bagaimana
lagi?” tanyanya datar.
Tiba-tiba
Darla berhenti tepat di depannya dan berseru. “Kau! Sampai kapan kau mau
seperti ini? Tidak tahukah kau kalau aku merindukanmu yang dulu?” kata-kata itu
muncul begitu saja. Sesaat kemudian ia menyadari suaranya terlalu tinggi. “Maafkan
aku. Mungkin aku memang berlebihan jadi, lupakan saja.”
Zoey
menatap sepatunya dan mengutuk dalam hati. “Baiklah aku mengaku salah. Maafkan aku.
Lalu kau mau aku harus bagaimana? Hidupku sudah tidak sama lagi, kau tahu itu
teman.”
“Hanya
karena hidupmu tidak sama lagi bukan berarti kau bisa berubah semaumu sendiri
kan?” sahutnya ketus.
Zoey
mendecakkan lidah dengan pelan lalu menurunkan nada biacaranya. “Tidak mudah
hidup normal dengan keadaan yang tidak normal. Tidak mudah tersenyum saat
mengingat kau telah kehilangan orang-orang yang kau sayang. Aku mohon
mengertilah Darla.”
Darla
menghampirinya dan memeluknya. “Kau masih memiliki aku, kita akan menjalani
hidup normal bersama-sama. Kita.”
Darla dalah sahabatnya sejak kecil. Mereka
selalu bersama sejak SD. Orang tua Darla bekerja di sebuah industri ternama di
California. Darla sangat menyukai music. Ia bisa bermain piano, gitar, biola,
harpa, dan flute. Hidupnya dipertaruhkan untuk music. Ia bahkan bercita-cita
menjadi pemusik ternama.
“Murid-murid,
hari ini kita akan mendapatkan teman baru. Seorang anak lelaki yang sangat baik
dan ramah. Mari kita sambut dengan baik, Davin.”
Seorang
anak lelaki memasuki ruang kelas dengan wajah berseri. “Selamat pagi,
perkenalkan aku Davin Hariston. Kalian bisa memanggilku Dave. Sudah lama aku
tidak kembali ke Amerika. Tapi, aku masih memiliki sedikit memori disini. Itu semua
karena aku telah lama tinggal di Inggris. Sekian perkenalanku.” Kemudian ia
mlihat kearah Zoey, matanya melebar namun sedetik kemudian ia tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar