Rabu, 16 Desember 2015

The Day Before (Eps 2)



“Zoey kau tidak sekolah? Kau ingin mati?”
“Diam dan enyahlah dari rumahku!” sahutnya dengan lantang.
“Kau ingin mengusir Bibimu sendiri?”
            Ia hanya ingin ketenangan dan kebahagiaan satu hari saja, hanya satu hari. Tunggu, kebahagiaan? Ia bahkan sudah lupa caranya tersenyum dan ia ingin kebahagiaan? Sadarlah Zoey, atau kau akan terluka. Gumamnya. Tapi ia menyerah pada ketangguhan Bibinya dan keluar kamar.
“Bibi mengapa aku tidak diizinkan membolos?” sungutnya dan berjalan ke sofa ruang tengah.
“Orang tuamu menitipkanmu padaku untuk menjadikanmu anak yang baik. Anak yang pintar. Mau sampai kapan kau seperti ini Nak?” tanya Bibinya dan membelai lembut kepala keponakannya itu.
“Aku akan bersiap-siap,” ia beranjak pergi dan bersiap-siap ke sekolah.
“Anak itu benar-benar telah berubah,” gumam Bibi dengan menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
            Pagi ini tidak indah. Astaga, kapan ia bisa merasakan hari-hari yang indah lagi. Bila saja ia bisa memutar waktu, bisakah ia terus bahagia? Apakah Tuhan akan mengizinkan ia tetap tersenyum? Tidak bisakah ia memutar waktu meski hanya sekali? Meski hanya sebentar saja.
“Selamat pagi gadis pintar”
Ia menoleh ke belakang melihat seseorang yang sudah sangat dikenalnya, menutup matanya sejenak dan menarik napas panjang. “Hai,” balasnya singkat.
Darla tersenyum masam. “Pagi-pagi begini aku justru mendapat sambutan dingin seperti itu.”
Zoey menoleh dan memandangi sahabatnya itu sejenak. “Kau mau sambutan yang bagaimana lagi?” tanyanya datar.
Tiba-tiba Darla berhenti tepat di depannya dan berseru. “Kau! Sampai kapan kau mau seperti ini? Tidak tahukah kau kalau aku merindukanmu yang dulu?” kata-kata itu muncul begitu saja. Sesaat kemudian ia menyadari suaranya terlalu tinggi. “Maafkan aku. Mungkin aku memang berlebihan jadi, lupakan saja.”
Zoey menatap sepatunya dan mengutuk dalam hati. “Baiklah aku mengaku salah. Maafkan aku. Lalu kau mau aku harus bagaimana? Hidupku sudah tidak sama lagi, kau tahu itu teman.”
“Hanya karena hidupmu tidak sama lagi bukan berarti kau bisa berubah semaumu sendiri kan?” sahutnya ketus.
Zoey mendecakkan lidah dengan pelan lalu menurunkan nada biacaranya. “Tidak mudah hidup normal dengan keadaan yang tidak normal. Tidak mudah tersenyum saat mengingat kau telah kehilangan orang-orang yang kau sayang. Aku mohon mengertilah Darla.”
Darla menghampirinya dan memeluknya. “Kau masih memiliki aku, kita akan menjalani hidup normal bersama-sama. Kita.”
            Darla dalah sahabatnya sejak kecil. Mereka selalu bersama sejak SD. Orang tua Darla bekerja di sebuah industri ternama di California. Darla sangat menyukai music. Ia bisa bermain piano, gitar, biola, harpa, dan flute. Hidupnya dipertaruhkan untuk music. Ia bahkan bercita-cita menjadi pemusik ternama.
“Murid-murid, hari ini kita akan mendapatkan teman baru. Seorang anak lelaki yang sangat baik dan ramah. Mari kita sambut dengan baik, Davin.”
Seorang anak lelaki memasuki ruang kelas dengan wajah berseri. “Selamat pagi, perkenalkan aku Davin Hariston. Kalian bisa memanggilku Dave. Sudah lama aku tidak kembali ke Amerika. Tapi, aku masih memiliki sedikit memori disini. Itu semua karena aku telah lama tinggal di Inggris. Sekian perkenalanku.” Kemudian ia mlihat kearah Zoey, matanya melebar namun sedetik kemudian ia tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar